Normal Life at 30

Hari Senin lalu, seharian penuh saya berkutat dengan pekerjaan. Ada yang harus segera diselesaikan, deadline berubah, dan saya burn out. Ketika Maghrib tiba, ada seorang tetangga saya, aktivis Posyandu memberikan voice note yang membuat saya “meledak”.

Isi voice notenya adalah menginformasikan kepada saya bahwa ada agenda vaksin polio hari Selasa di Posyandu. Namun, yang membuat saya meledak adalah dia mengungkit tentang program pemberian makanan tambahan (PMT) yang pernah diikuti sama anakku. Ceritanya, anakku sudah 3 bulan tidak Posyandu karena ada alasan khusus.

Kata-katanya seperti ini kurang lebih:

“Sudah dikasih PMT tapi kok malah nggak ikut Posyandu? Saya yang ditegur sama Kesehatan (Dinkes maksudnya)”

Kader Posyandu

Lalu, kenapa aku meledak? Bukannya bersyukur ya masih dikasih informasi tentang vaksin polio, sama diingatkan untuk membawa anak ke Posyandu?

Iya gaes, kalau dia sebelumnya ada itikad sebelum negor, ya saya nggak papa. Tapi kata-kata berikutnya sungguh nyelekit, dia bilang kalau saya bukan orangtua yang memperhatikan kesehatan dan masa depan anak. What the…. (**$^*$&*$

Sigh.

Saya sangat shock, saat udah lelah, bahkan belum sempat mandi sore, sudah dapat judgement seperti itu. Saya menangis. Bahkan saya, yang sudah seharian jungkir balik ngurusin anak, disambi kerja, disambi kerjaan rumah, masih dibilang sebagai orang tua yang tidak memperhatikan kesehatan dan masa depan anak saya. Saya sangat sedih, mengingat sudah 2 bulan ini saya bolak balik ke dokter spesialis anak, ke rumah sakit, mengeluarkan biaya yang tak sedikit untuk kontrol dan membelikan susu khusus menaikkan BB untuk anak saya, tapi masih dapat judgement seperti itu.

Ada alasan kenapa saya nggak posyandu.

Kalau 3 bulan lalu, suami saya sakit sehingga saya harus pontang panting ngurus dia dan anak-anak. Posyandu tidak terlalu urgent karena anak saya sudah mendapat imunisasi lengkap dan juga usianya sudah di atas 3 tahun. Otomatis kegiatannya memang hanya timbang BB dan ukur TB. Suami saya juga bilang, tidak urgent untuk ke sana.

Sedangkan 2 bulan berikutnya saya ada jobdesc baru di pekerjaan saya, sehingga harus menyesuaikan. Load pekerjaan suami juga memang sedang tinggi. Pikir kami, karena sudah ukur BB dan TB di DSA, kami juga skip saja ke posyandunya.

Ternyata itu adalah masalah besar bagi kader posyandu karena harus memenuhi target dari atasannya untuk melakukan pemantauan anak yang dapat PMT. Saya maklum, karena dari penjelasan suami saya juga kalau udah ada hubungannya sama proyek pemerintah, mereka para kader yang akan ditekan untuk monitoring dan evaluasinya.

Namun, saya hanyalah ibu biasa. Yang kadang juga punya sisi sensitif ketika “dikatain” seperti itu. Ibu mana sih sebenarnya yang nggak mau anaknya sehat? Kalau benar saya adalah ibu yang tidak bertanggungjawab terhadap anak saya, pastinya saya nggak akan repot-repot ke DSA untuk memeriksakan tumbuh kembang anak saya.

Bahkan saya sangat menyesaal telat membawa anak saya periksa. Anak saya menderita anemia dan kekurangan zat besi. Saya tahunya ketika sudah tes lab. Kalau benar dengan membawa ke Posyandu adalah tolak ukur perhatian orang tua ke anak, bukankah harusnya dari pihak Posyandu sudah merekomendasikan saya ke DSA atau minimal memberi penyuluhan tentang kondisi anak saya yang BB-nya kurang?

Saya tidak dapatkan itu di posyandu. Hanya ukur, ukur, dapat jajan. Itu saja yang saya rasakan selama posyandu. Belum lagi harus mendengarkan nyinyiran kadernya yang bikin panas telinga. Saya adalah orang yang paling nggak suka dianggap ini itu, dianggap bodoh, dianggap nggak perhatian ke anak. Itulah stressor saya, sehingga saya meledak. Saya teringat kembali masa kelam saat tinggal bersama mertua, dimana stressor saya ya mereka yang ada di sana (bukan hanya mertua, tapi juga nenek mertua, bibi, tetangga, dst). Saya teringat kembali lingkungan toksik yang sudah saya tinggalkan.

Ketika kader posyandu itu mengirim voice note ke saya, saya sangat marah sehingga saya harus release dengan curhat ke kakak saya dan suami. Jika tidak, anak-anak sayalah yang akan menjadi korban karena stress saya kumat. Kenapa saya bisa sumbu pendek seperti itu? Bukankah masalahnya sepele?

Saya bisa seperti itu bukan faktor masalah yang sepele, tapi ada sinyal yang sama yang mengingatkan saya pada kejadian di rumah mertua. Itu.

Saya struggle dengan keadaan saya sekarang, mental health issue yang belum kunjung selesai. Meskipun saya sudah lebih tenang, tetap saja. Ada masa dimana saya bisa “kambuh” hanya karena hal yang menurut orang lain sepele.

Baiklah, katakan bahwa itu semua tidak benar. Kenyataannya saya adalah ibu yang memperhatikan anak saya. Maka, saya berusaha berdamai dengan keadaan, dengan menjawab apa adanya ke si ibu kader Posyandu tersebut. Saya jawab bahwa saya sudah perhatikan anak saya, dan akan membawa anak saya ke posyandu untuk vaksin polio.

Saya perlu buat catatan, bahwa saya tidak berlindung di balik mental illness saya. Tapi itulah yang saya rasakan dan saya alami, setiap kali ada sinyal serupa yang membuat saya kena sakit mental dulu. Berteriak-teriak tidak karuan ke anak, itu sudah menjadi hal yang terjadi berulang kali even saya sudah pindah rumah, terpisah dari sumber stress saya dulu.

Orang dengan mental illness, akan selalu dipojokkan dengan “halah, gitu aja dibesar-besarkan”, “halah, kamu kurang iman”, dan halah halah lainnya. Sakit mental memang tidak kelihatan, tapi rasa sakitnya juga sama dengan orang yang sakit fisik. Kenapa kami tidak diberi empati yang sama? Entahlah, memang begitu kondisinya. Empati hanya kepada mereka yang memiliki penyakit fisik. Bukan kepada penyintas mental illness.

Sudah cukup curhatan saya. Saya hanya mau bilang, saya terkadang dalam posisi kondisi mental yang tidak stabil. Jika saya berkonflik dengan seseorang, kemungkinan besar saaat itu kondisi mental saya memang sedang labil. Saya mudah marah, meski sudah berkurang marah-marahnya.

Jadi, jangan anggap saya tidak melakukan apa-apa, baik saya sebagai ibu, istri, rekan kerja, atau peran lainnya. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tetap bisa berguna di kehidupan saya. Karena kalau saya sudah tak berguna, tentu saya akan memilih untuk tiada. Jangan mudah-mudah untuk judgement sesuatu yang ada di kepala kalian, sebelum kalian konfirmasi langsung ke saya, mengapa saya melakukan hal tersebut.

Kenapa saya kasih judul Normal Life at 30? Karena di usia 30-an kamu akan lebih banyak dijudge yang tidak tidak, dan itulah kehidupan normal usia 30-an, misalnya POV saya sebagai ibu 2 anak yang nggak ke Posyandu. Saya hanya perlu switch kondisi itu ke “ya udah lah normal ada ibu lain yang judge saya serendah itu, itu normal… itu NORMAL”.

Terima kasih sudah membaca. Nggak yakin ada manfaatnya, tapi semoga ada.

Indriani Taslim

Leave a comment