Menciptakan Dunia Baru

Salah satu hal yang saya sukai dari fiksi adalah saya bisa menciptakan dunia baru yang sama sekali berbeda dengan realitas yang terjadi saat ini.

Anak sulung saya tadi mengungkapkan hal yang bikin saya tersenyum. Sehabis membaca buku, kira-kira 4 halaman, dia mendatangi saya seraya berkata, “Mah, aku bisa lho menciptakan dunia yang berbeda dengan yang aku lihat saat ini…” ujarnya sambil tersenyum lebar.

Saat itu saya menyadari, yang dia maksud adalah dia sedang berimajinasi saat membaca buku maupun melihat tayangan di youtube/game. Saya menanggapinya, “Bagus! Itu namanya kamu sedang berimajinasi.”

Foto oleh İsra Nilgün Özkan

Saya sering ditanya bagaimana caranya menulis fiksi? Menciptakan dunia yang baru, dimana para tokoh bisa berada di dunia yang diciptakan oleh penulisnya, memiliki konflik yang sebenarnya tidak ada namun biasanya relevan dengan yang terjadi di dunia nyata.

Orang yang membaca fiksi, biasanya terlarut dengan dunia baru yang dikarang penulis, hasil imajinasi dari penulis, bermanifestasi menjadi imajinasi pembaca. Jika yang digunakan adalah sudut pandang pertama, maka perasaan melekat akan semakin kuat, seakan-akan kitalah tokoh utama yang sedang mengalami konflik dalam cerita fiksi tersebut. Maka, penulis yang baik adalah penulis yang dapat membuat pembacanya hadir dalam dunia rekaan yang sedang dibangun oleh penulisnya. Imajinasi penulis, ditransfer menjadi imajinasi pembaca.

Jangan heran jika orang yang menonton film adaptasi novel bakalan kurang puas dengan film-nya, karena mereka sudah membaca buku yang mendasari film tersebut. Ada bagian-bagian dalam buku yang tidak bisa diwujudkan secara keseluruhan ke dalam film (karena terbatasnya durasi juga). Bukan film-nya yang tidak bagus, akan tetapi daya imajinasi serta interpretasi masing-masing pembaca ketika membaca buku berbeda dengan manifestasi buku tersebut dalam bentuk film.

Nah, karena itulah saya jatuh cinta dengan fiksi.

Fiksi memungkinkan saya untuk menciptakan dunia yang berbeda dengan yang saya alami sekarang. Saya bisa memunculkan tokoh-tokoh rekaan, untuk membawakan kisah mereka sendiri sebagai wujud dari kegelisahan saya sebagai manusia yang menjadikan tulisan sebagai media untuk mengungkapkan kegelisahan-kegelisahan tersebut. Karya fiksi, sejatinya memperkaya diri kita, agar kita bisa dengan mudah mengunyah pengalaman hidup orang lain.

Ada beberapa buku yang katanya bersumber dari kisah nyata penulisnya, misalnya Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. Senyata-nyatanya kisah yang dia hadirkan, pasti ada sisi surealisnya, yang tidak mudah diterima oleh orang yang berpikir secara realistis dan rasional. Padahal, bacaan fiksi bisa jadi melampaui keduanya, tidak realistis dan tidak rasional.

Namun, bagi penyuka fiksi seperti saya, saya percaya ada bagian yang nyata dan ada bagian yang direka (saya tidak tahu persisnya, tapi saya bisa merasakan, oh kemungkinan ini bagian yang direka). Kalau laskar pelangi saya yakin banyak kejadian nyata yang diungkapkan secara fiktif, dan saya yakin tokoh Lintang ini benar-benar ada, yang 100% fiktif adalah tokoh Arai di 3 novel sekuel Laskar pelangi.

Arai adalah contoh manifestasi tokoh Lintang yang dikarang penulisnya. Andaikan jika lintang berkesempatan untuk sekolah bersama Ikal, dia akan seperti Arai. Mungkin pengambilan contoh ini sulit dibayangkan jika Anda tidak pernah membaca tetralogi Laskar Pelangi. Ada lagi contoh yaitu fiksi berdasarkan kisah nyata yaitu trilogi Negeri 5 Menara. Anda yang membacanya pasti percaya itu kisah nyata, namun jangan lupa. Fiksi tetaplah fiksi. Ada bumbu tidak nyata di sana, hasil imajinasi dari penulisnya dan itu sah-sah saja.

Jadi, penulis yang menulis fiksi, sekalipun itu dilabeli based on true story, ada sisi imajinatif yang harus kita terima tanpa protes. Ya, itu kisahnya memang dari pengalaman nyata penulisnya, namun tidak 100% benar-benar terjadi. Sudah ada proses kreatif dalam penulisannya, sehingga penulis dengan mudah menyampaikan amanat-amanat penting yang ia ketahui, keyakinan-keyakinan yang dia miliki, ke dalam dunia rekaan yang dibaca oleh pembaca.

Oleh karena itu, aturan membuat fiksi yang baik adalah tetap masuk akal. Jika ceritanya realis, maka data yang ditampilkan harus relevan dengan kenyataan. Misal mengambil setting kota Jakarta, tapi menggambarkan nama jalan, nama tempat, tidak sesuai dengan adanya, maka pembaca akan sulit menerima. Penulis wajib riset untuk setting lokasi, supaya nggak dikatain ngarang doang sama pembaca (padahal memang kerjaan penulis fiksi adalah mengarang cerita, haha).

Berbeda cerita kalau ceritanya fantasi. Boleh-boleh aja menciptakan dunia paralel maupun dunia di masa lalu dan masa depan yang tidak benar-benar ada. Pembaca yang cerdas, tahu kok dia sedaang baca apa. Dia nggak akan merasa dibodohi juga.

Itulah sedikit yang bisa saya jabarkan tentang fiksi. Jika Anda suka dengan pembahasan seputar menulis fiksi, yuk kita diskusi. Insya Allah kedepannya saya akan bahas lagi tentang dunia fiksi, karena saya suka membebaskan imajinasi (sepertinya sudah mulai menular ke anak sulung saya) dan mewujudkannya ke dalam karya fiksi.

Indriani Taslim

Madiun, 26 Juni 2023

Tantangan 100 hari menulis — hari 30/100

Leave a comment